CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MOLEK

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MOLEK


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MOLEK, Hasrat-Bispak36 Seluruhnya orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tak tergusur, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya gak hanya itu. Denok pun memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda merupakan seorang penari, dan seringkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, serta beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati karena Bapak telah tidak ada, tetapi juga kebingungan sebab sekian hari seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil biro judi yang berikan hutang pada Bapak. Kami tidak miliki lokasi tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, rival sangat banyak. Selanjutnya selesai cukuplah lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok menentukan untuk manfaatkan keterampilan kami. Dengan modal baju dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau melalui tahun awal kuliah, dan yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak enteng pun cari uang secara seperti berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta tidak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang mau bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Seusai cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang datang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski kerapkali helai-lembar itu diserahkan ke kami oleh kurang santun contohnya dengan diumpetkan ke baju kami. Apa saya dan Simbok memang memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu selalu mengarahkan dan mengingati saya buat menjaga badan biarpun dengan secara simple, jadi meski sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pun sich jika di katakan saya montok. Tak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula cepat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Terheran-herannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Manalagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Semuanya orang nengok serta gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu buat puas yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa  memanfaatkan dandanan semacam itu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, nanti bila nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, bencana ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya kuatir, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sebetulnya mulai sejak ketabrak  Simbok sudah tidak ada impian, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya memandangnya. Kala itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak bisa menggelar acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja karena terlampau berduka. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis dan saya pun perlu menghadapi beberapa tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kepelikan saya . Maka, satu minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya jadi berjumpa dengan ibu yang punyai sewaan. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak miliki uang, jadi saya hanya dapat ngomong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MOLEK

Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana langkahnya agar kelak bila pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu sekedar tahu beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk ongkos penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya kesal namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewaan. Bila berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu tidak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa harus dengan langkah sesuai ini? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali telah nampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya masih tetap ragu-ragu. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Jika tidak mau ya udah," ucapnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada lelaki berterus-terang ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu dan pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pula menggenggam paha saya yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi gak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tiada henti lihat sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama